I. A. KONDISI EKONOMI INDONESIA AWAL KEMERDEKAAN
Keadaan ekonomi Indonesia pada akhir kekuasaan Jepang dan pada awal berdirinya
Republik Indonesia sangat kacau dan sulit. Latar belakang keadaan yang kacau
tersebut disebabkan karena :
• Indonesia yang baru saja merdeka belum memiliki pemerintahan yang baik,
dimana belum ada pejabat khusus yang bertugas untuk menangani perekonomian
Indonesia.
• Sebagai negara baru Indonesia belum mempunyai pola dan cara untuk mengatur
ekonomi keuangan yang mantap.
• Tingalan pemerintah pendudukan Jepang dimana ekonomi saat pendudukan Jepang
memang sudah buruk akibat pengeluaran pembiayaan perang Jepang. Membuat
pemerintah baru Indonesia agak sulit untuk bangkit dari keterpurukan.
• Kondisi keamanan dalam negeri sendiri tidak stabil akibat sering terjadinya
pergantian kabinet, dimana hal tersebut mendukung ketidakstabilan ekonomi.
• Politik keuangan yang berlaku di Indonesia dibuat di negara Belanda guna
menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan untuk menghancurkan ekonomi
nasional.
• Belanda masih tetap tidak mau mengakui kemerdeaan Indonesia dan masih terus
melakukan pergolakan politik yang menghambat langkah kebijakan pemerintah dalam
bidang ekonomi.
Faktor- faktor penyebab kacaunya perekonomian Indonesia 1945-1950 adalah
sebagai berikut .
1. Terjadi Inflasi yang sangat tinggi
Inflasi tersebut dapat terjadi disebabakan karena :
• Beredarnya mata uang Jepang di masyarakat dalam jumlah yang tak terkendali
(pada bulan Agustus 1945 mencapai 1,6 Milyar yang beredar di Jawa sedangkan
secara umum uang yang beredar di masyarakat mencapai 4 milyar).
• Beredarnya mata uang cadangan yang dikeluarkan oleh pasukan Sekutu dari
bank-bank yang berhasil dikuasainya untuk biaya operasi dan gaji pegawai yanh
jumlahnya mencapai 2,3 milyar.
• Repubik Indonesia sendiri belum memiliki mata uang sendiri sehingga
pemerintah tidak dapat menyatakan bahwa mata uang pendudukan Jepang tidak
berlaku.
Inflasi terjadi karena di satu sisi tidak terkendalinya peredaran uang yang
dikeluarkan pemerintah Jepang di sisi lain ketersediaan barang menipis bahkan langka
di beberapa daerah. Kelangkaan ini terjadi akibat adanya blokade ekonomi oleh
Belanda. Uang Jepang yang beredarsangat tinggi sedangkan kemampuan ekonomi
untuk menyerap uang tersebut masih sanat rendah.
Karena inflasi ini kelompok yang paling menderita adalah para petani sebab pada
masa pendudukan Jepang petani merupakan produsen yang paling banyak menyimpan
mata uang Jepang. Hasil pertanian mereka tidak dapat dijual, sementara nilai
tukar mata uang yang mereka miliki sangat rendah.
Pemerintah Indonesia yang baru saja berdiri tidak mampu mengendalikan dan
menghentikan peredaran mata uang Jepang tersebut sebab Indonesia belum memiliki
mata uang baru sebagai penggantinya. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk
sementara waktu menyatakan ada 3 mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu:
o Mata uang De Javasche Bank
o Mata uang pemerintah Hindia Belanda
o Mata uang pendudukan Jepang
Keadaan tersebut diperparah dengan diberlakukannya uang NICA di daerah yang
diduduki sekutu pada tanggal 6 Maret 1946 oleh Panglima AFNEI yang baru (Letnan
Jenderal Sir Montagu Stopford). Uang NICA ini dimaksudkan untuk menggantikan
uang Jepang yang nilainya sudah sangat turun saat itu. Upaya sekutu tersebut
merupakan salah satu bentuk pelangaran kesepakatan yaitu bahwa selama belum ada
penyelesaian politik mengenai status Indonesia, maka tidak ada mata uang baru.
Karena tindakan sekutu tersebut maka pemerintah Indonesiapun mengeluarkan uang
kertas baru yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI)sebagai pengganti uang Jepang.
2. Adanya Blokade ekonomi dari Belanda
Blokade oleh Belanda ini dilakukan dengan menutup (memblokir) pintu
keluar-masuk perdagangan RI terutama melalui jalur laut dan pelabuhan-pelabuhan
penting. Blokade ini dilakukan mulai bulan November 1945. Adapun alasan dari
pemerintah Belanda melakukan blokade ini adalah :
Mencegah masuknya senjata dan peralatan
militer ke Indonesia.
v
Mencegah kelurnya hasil-hasil perkebunan
milik Belanda dan milik asing lainnya.
v
Melindungi bangsa Indonesia dari
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh bangsa lain.
v
Dengan adanya blokade tersebut menyebabakan:
• Barang-barang ekspor RI terlambat terkirim.
• Barang-barang dagangan milik Indonesia tidak dapat di ekspor bahkan banyak
barang-barang ekspor Indonesia yang dibumi hanguskan.
• Indonesia kekurangan barang-barang import yang sangat dibutuhkan.
• Inflasi semakin tak terkendali sehingga rakyat menjadi gelisah.
Tujuan/harapan Belanda dengan blokade ini adalah :
• Agar ekonomi Indonesia mengalami kekacauan
• Agar terjadi kerusuhan sosial karena rakyat tidak percaya kepada pemerintah
Indonesia, sehingga pemerintah Belanda dapat dengan mudah mengembalikan
eksistensinya.
• Untuk menekan Indonesia dengan harapan bisa dikuasai kembali oleh Belanda.
3. Kekosongan kas Negara
Kas Negara mengalami kekosongan karena pajak dan bea masuk lainnya belum ada
sementara pengeluaran negara semakin bertambah. Penghasilan pemerintah hanya
bergantung kepada produksi pertanian. Karena dukungan dari bidang pertanian
inilah pemerintah Indonesia masih bertahan, sekalipun keadaan ekonomi sangat
buruk.
B. UPAYA MENGATASI BLOKADE EKONOMI BELANDA (NICA)
Upaya pemerintah untuk keluar dari masalah blokade tersebut adalah sebagai
berikut.
1. Usaha bersifat politis, yaitu Diplomasi Beras ke India
Pemerintah Indonesia bersedia untuk membantu pemerintah India yang sedang
ditimpa bahaya kelaparan dengan mengirimkan 500.000 ton beras dengan harga
sangat rendah. Pemerintah melakukan hal ini sebab akibat blokade oleh Belanda
maka hasil panen Indonesia yang melimpah tidak dapat dijual keluar negeri
sehingga pemerintah berani memperkirakan bahwa pada pada musim panen 1946 akan
diperoleh suplai hasil panen sebesar 200.000 sampai 400.000 ton. Sebagai
imbalannya pemerintah India bersedia mengirimkan bahan pakaian yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat Indonesia pada saat itu. Saat itu Indonesia tidak
memikirkan harga karena yang penting adalah dukungan dari negara lain yang
sangat diperlukan dalam perjuangan diplomatik dalam forum internasional. Adapun
keuntungan politis yang diperoleh Indonesia dengan adanya kerjasama dengan
India ini adalah Indonesia mendapatkan dukungan aktif dari India secara
diplomatik atas perjuangan Indonesia di forum internasional.
2. Mengadakan hubungan dagang langsung dengan luar negeri
Membuka hubungan dagang langsung ke luar negeri dilakukan oleh pihak pemerintah
maupun pihak swasta. Usaha tersebut antara lain :
Mengadakan kontak dagang dengan
perusahaan swasta Amerika (Isbrantsen Inc.). Tujuan dari kontak ini adalah
membuka jalur diplomatis ke berbagai negara. Dimana usaha tersebut dirintis
oleh BTC (Banking and Trading Corporation) atau Perseroan Bank dan Perdagangan,
suatu badan perdagangan semi-pemerintah yang membantu usaha ekonomi pemerintah,
dipimpin oleh Sumitro Djojohadikusumo dan Ong Eng Die. Hasil transaksi pertama
dari kerjasama tersebut adalah Amerika bersedia membeli barang-barang ekspor
Indonesia seperti gula, karet, teh, dan lain-lain. Tetapi selanjutnya kapal
Amerika yang mengangkut barang pesanan RI dan akan memuat barang ekspor dari RI
dicegat dan seluruh muatannya disita oleh kapal Angkatan Laut Belanda.
§
Karena blokade Belanda di Jawa terlalu
kuat maka usaha diarahkan untuk menembus blokade ekonomi Belanda di Sumatera
dengan tujuan Malaysia dan Singapura. Usaha tersebut dilakukan sejak 1946
sampai akhir masa perang kemerdekaan. Pelaksanaan ini dibantu oleh Angkatan
laut RI serta pemerintah daerah penghasil barang-barang ekspor. Karena perairan
di Sumatra sangatlah luas, maka pihak Belanda tidak mampu melakukan pengawasan
secara ketat. Hasilnya Indonesia berhasil menyelundupkan karet yang mencapai
puluhan ribu ton dari Sumatera ke luar negeri, terutama ke Singapura. Dan
Indonesia berhasil memperoleh senjata , obat-obatan dan barang-barang lain yang
dibutuhkan.
§
Pemerintah RI pada 1947 membentuk
perwakilan resmi di Singapura yang diberi nama Indonesian Office (Indoff).
Secra resmi badan ini merupakan badan yang memperjuangkan kepentingan politik
di luar negeri, namun secara rahasia berusaha menembus blokade ekonomi Belanda
dengan melakukan perdagangan barter. Diharapkan dengan upaya ini mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat Indonesia. Selain itu juga berperan sebagai perantara
dengan pedagang Singapura dan mengusahakan pengadaan kapal-kapal yang
diperlukan.
§
Dibentuk perwakilan kemetrian pertahanan
di luar negeri yaitu Kementrian Pertahanan Urusan Luar Negeri (KPULN) yang
dipimpin oleh Ali Jayengprawiro. Tugas pokok badan ini adalah membeli senjata
dan perlengkapan angkatan perang.
§
C. KEBIJAKAN PEMERINTAHAN MENGHADAPI BURUKNYA KONDISI EKONOMI INDONESIA
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kondisi ekonominya mulai
dilakukan sejak Februari 1946, adalah sebagai berikut.
1) Konferensi Ekonomi Februari 1946
Konferensi ini dihadiri oleh para cendekiawan, gubernur, dan pejabat lainnya
yang bertanggungjawab langsung mengenai masalah ekonomi di Jawa, yang dipimpin
oleh Menteri Kemakmuran (Darmawan Mangunkusumo). Tujuan Konferensi ini adalah
untuk memperoleh kesepakatan dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang
mendesak, seperti :
a. Masalah produksi dan distribusi makanan
Tercapai kesepakatan bahwa sistem autarki lokal sebagai kelanjutan dari sistem
ekonomi perang Jepang, secara berangsur-angsur akan dihapukan dan diganti
dengan sistem desentralisasi.
b. Masalah sandang
Disepakati bahwa Badan Pengawasan Makanan Rakyat diganti dengan Badan
Persediaan dan Pembagian Makanan (BPPM) yang bertujuan untuk mengatasi
kesengsaraan rakyat Indonesia. Badan ini dipimpin oleh Sudarsono dibawah
pengawasan Kementrian Kemakmuran. BPPM dapat dianggap sebagai awal dari
terbentuknya Badan Urusan Logistik (Bulog). Sementara itu tujuan dibentuk Bulog
(Februari 1946) untuk melarang pengiriman bahan makanan antar karisidenan
c. Status dan Administrasi perkebunan-perkebunan
Keputusannya adalah semua perkebunan dikuasai oleh negara dengan sistem
sentralisasi di bawah kementrian Kemakmuran. Sehingga diharapkan pendapatan
negara dapat bertambah secara signifikan dengan nasionalisasi pabrik gula dan
perkebunan tebu.
Konferensi kedua di Solo, 6 Mei 1946 membahas mengenai masalah program ekonomi
pemerintah, masalah keuangan negara, pengendalian harga, distribusi, dan
alokasi tenaga manusia. Wapres Moh. Hatta mengusulkan mengenai rehabilitasi
pabrik gula, dimana gula merupakan bahan ekspor penting sehingga harus dikuasai
oleh negara. Untuk merealisasikan keinginan tersebut maka pada 6 Juni 1946
dibentuk Perusahaan Perkebunan Negara (PPN).
2) Pinjaman Nasional
Program ini dilaksanakan oleh Menteri Keuangan (Surachman) dengan persetujuan
BP-KNIP. Untuk mendukung program tersebut maka dibuat Bank Tabungan Pos, bank
ini berguna untuk penyaluran pinjaman nasional untuk meningkatkan kepercayaan
masyarakat Indonesia kepada pemerintahan. Selain itu, pemerintah juga menunjuk
rumah gadai untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat dengan jangka waktu
pengembalian selama 40 tahun. Tujuannya untuk mengumpulkan dana masyarakat bagi
kepentingan perjuangan, sekaligus untuk menanamkan kepercayaan rakyat pada
pemerintah RI.
Rakyat dapat meminjam jika rakyat mau menyetor uang ke Bank Tabungan Pos dan
rumah-rumah pegadaian. Usaha ini mendapat respon yang besar dari rakyat
terbukti dengan besar pinjaman yang ditawarkan pada bulan Juli 1946 sebesar Rp.
1.000.000.000,00 , pada tahun pertama berhasil dikumpulkan uang sejumlah Rp.
500.000.000,00. Kesuksesan yang dicapai menunjukkan besarnya dukungan dan
kepercayaan rakyat kepada Pemerintah RI.
3) Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947.
Badan ini dibentuk atas usul dari menetri kemakmuran AK. Gani. Badan ini
merupakan badan tetap yang bertugas membuat rencana pembangunan ekonomi untuk
jangka waktu 2 sampai 3 tahun yang akhirnya disepakati Rencana Pembangunan
Sepuluh Tahun.
Rencana Pembangunan 10 tahun tersebut adalah sebagai berikut.
1. Semua bangunan umum, perkebunan, dan industri yang telah ada sebelum perang
menjadi milik negara, yang baru terlaksana tahun 1957.
2. Bangunan umum vital milik asing dinasionalisasikan dengan pembayaran ganti
rugi
3. Perusahaan milik Jepang akan disita sebagai ganti rugi terhadap RI.
4. Perusahaan modal asing lainnya dikembalikan kepada yang berhak sesudah
diadakan perjanjian Republik Indonesia dengan Belanda.
Badan ini bertujuan untuk menasionalisasikan semua cabang produksi yang telah
ada dengan mengubah ke dalam bentuk badan hukum. Hal ini dilakukan dengan
harapan agar Indonesia dapat menggunakan semua cabang produksi secara maksimal
dan kuat di mata hukum internasional. Pendanaan untuk Rencana Pembangunan ini
terbuka baik bagi pemodal dalam negeri maupun pemodal asing.
Inti rencana ini adalah agar Indonesia membuka diri terhadap penanaman modal
asing dan melakukan pinjaman baik ke dalam maupun ke luar negeri.
Untuk membiayai rencana pembangunan ekonomi tersebut pemerintah membuka diri
terhadap penanaman modal asing, mengerahkan dana masyarakat melalui pinjaman
nasional, melalui tabungan masyarakat, serta melibatkan badan-badan swasta
dalam pembangunan ekonomi. Dan untuk menampung dana tersebut dibentuk Bank
Pembangunan. Perusahaan patungan (merger) diperkenankan berdiri sementara itu
tanah partikelir dihapuskan.
Perkembangannya April 1947 badan ini diperluas menjadi Panitia Pemikir Siasat
Ekonomi yang bertugas mempelajari, mengumpulkan data, dan memberikan saran
kepada pemerintah dalam merencanakan pembangunan ekonomi dan dalam rangka
melakukan perundingan dengan pihak Belanda. Rencana tersebut belum berhasil
dilaksanakan dengan baik karena situasi politik dan militer yang tidak
memungkinkan, yaitu Agresi Militer Belanda I dan Perjanjian Linggarjati yang
menyebabkan sebagian besar wilayah Indonesia yang memiliki potensi ekonomi
jatuh ke tangan Belanda dan yang tersisa sebagian besar tergolong sebagai
daerah miskin dan berpenduduk padat (Sumatera dan Jawa). Hal tersebut ditambah
dengan adanya Pemberontakan PKI dan Agresi mIliter Belanda II yang
mengakibatkan kesulitan ekonomi semakin memuncak.
4) Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948
Program ini bertujuan untuk mengurangi beban negara dalam bidang ekonomi,
selain meningkatkan efisiensi. Rasionalisasi meliputi penyempurnaan
administrasi negara, angkatan perang, dan aparat ekonomi. Sejumlah angkatan
perang dikurangi secara drastis untuk mengurangi beban negara di bidang ekonomi
dan meningkatkan effisiensi angkatan perang dengan menyalurkan para bekas
prajurit pada bidang-bidang produktif dan diurus oleh kementrian Pembangunan
dan Pemuda. Rasionalisasi yang diusulkan oleh Mohammad Hatta diikuti dengan
intensifikasi pertanian, penanaman bibit unggul, dan peningkatan peternakan.
5) Rencana Kasimo (Kasimo Plan)
Program ini disusun oleh Menteri Urusan Bahan Makanan I.J.Kasimo. Program ini
berupa Rencana Produksi Tiga tahun (1948-1950) mengenai usaha swasembada pangan
dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Inti dari Kasimo Plan adalah
untuk meningkatkan kehidupan rakyat dengan menigkatkan produksi bahan pangan.
Rencana Kasimo ini adalah :
Menanami tanah ko
§song (tidak terurus) di Sumatera
Timur seluas 281.277 HA
Melakukan intensifikasi di Jawa dengan
menanam bibit unggul
§
Pencegahan penyembelihan hewan-hewan
yang berperan penting bagi produksi pangan.
§
Di setiap desa dibentuk kebun-kebun
bibit
§
Transmigrasi bagi 20 juta penduduk Pulau
Jawa dipindahkan ke Sumatera dalam jangka waktu 10-15 tahun.
§
6) Persatuan Tenaga Ekonomi (PTE)
Organisasi yang dipimpin B.R Motik ini bertujuan untuk :
Menggiatkan kembali partisipasi
pengusaha swasta, agar pengusaha swasta memperkuat persatuan dan mengembangkan
perekonomian nasional.
v
Menggalang dan Melenyapkan
individualisasi di kalangan organisasi pedagang sehingga dapat memperkokoh
ketahanan ekonomi bangsa Indonesia.
v
Meskipun usaha PTE didukung pemerintah dan melibatkan dukungan dari pemerintah
daerah namun perkembangannya PTE tidak dapat berjalan baik dan hanya mampu
didirikan Bank PTE di Yogyakarta dengan modal awal Rp. 5.000.000,00. Kegiatan
ini semakin mengalami kemunduran akibat Agresi Militer Belanda.
Selain PTE, perdagangan swasta lainnya juga membantu usaha ekonomi pemerintah
adalah Banking and Trading Corporation (Perseroan Bank dan Perdagangan).
Mengaktifkan kembali Gabungan Perusahaan Perindustrian dan Perusahaan Penting,
Pusat Tembakau Indonesia, Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA)
dalam rangka memperbaiki ekonomi Indonesia.
7) Oeang Republik Indonesia (ORI)
Melarang digunakan mata uang NICA dan yang lainnya serta hanya boleh
menggunakan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) dikeluarkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia berdasarkan UU No. 17 tahun 1946 yang dikeluarkan pada
tanggal 1 Oktober 1946. Mengenai pertukaran uang Rupiah Jepang diatur
berdasarkan UU No. 19 tahun 1946 tanggal 25 Oktober 1946. Tanggal 25 Oktober
selanjutnya dijadikan sebagai hari keuangan. Adapun kebijakan penyetaraan mata
uang adalah sebagai berikut.
• Di Jawa, Lima puluh rupiah (Rp. 50,00) uang Jepang disamakan dengan satu
ruapiah (Rp. 100,00) ORI dengan perbandingan 1:5.
• Di Luar Jawa dan Madura, Seratus rupiah (Rp. 100,00) uang Jepang sama dengan
satu rupiah(Rp. 1,00) ORI dengan perbandingan 1:10.
• Setiap sepuluh rupiah (Rp. 10,00) ORI bernilai sama dengan emas murni seberat
5 gram.
Mengenai pengaturan nilai tukar uang ORI dengan valuta asing (nilai kurs mata
uang ORI di pasar valuta asing) sebenarnya dipegang oleh Bank Negara yang
sebelumnya telah dirintis bentuk prototipenya yaitu dengan pembentukan Bank
Rakyat Indonesia (Shomin Ginko). Namun tugas tersebut pada akhirnya dijalankan
oleh Bank Negara Indonesia (Bank Negara Indonesia 1946) yang dipimpin oleh
Margono Djojohadikusumo. Bank ini merupakan bank umum milik pemerintah yang
tujuan awal didirikannya adalah untuk melaksanakan koordinasi dalam pengurusan
bidang ekonomi dan keuangan. BNI didirikan pada 1 November 1946.
Meskipun begitu usaha pemerintah untuk menjadikan ORI sebagai satu-satunya mata
uang nasional tidak tercapai karena terpecah-pecahnya wilayah RI akibat
perundingan Indonesia- Belanda. Sehingga di beberapa daerah mengeluarkan mata
uang sendiri, yang berbeda dengan ORI, seperti URIPS (Uang Republik Propinsi
Sumatera) di Sumatera, URIBA (Uang Republik Indonesia Baru) di Aceh, URIDAB
(Uang Republik Indonesia Banten) di Banten dan Palembang.
Upaya-upaya pemerintah Indonesia tersebut dilakukan dalam upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia meskipun Belanda masih belum pergi
dari Indonesia.
II. Kondisi Politik
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu
babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam
perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas,
paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan
perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.
Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak
periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945
sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era
Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde
Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik
yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.[3]
Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai
susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua
konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis
dan konfigurasi politik otoriter.[4]
Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia
berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai
produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang
lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap
pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi
konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang
otoriter sebagai esensi feodalisme.
Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan
tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat
proses Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan
Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya
berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.
Dalam penulisan ini, kami mencoba memberikan penjelasan singkat seputar
konfigurasi politik yang dibatasi pada dua era, yakni Orde Lama dan Orde Baru,
serta pemahaman terhadap partai politiknya.
A. KONFIGURASI POLITIK ERA ORDE LAMA
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang
isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara
tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya
kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan
DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.[5] Pada masa ini Soekarno
memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada
tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis
konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang
“memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan
melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme,
yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang
perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham
politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat
berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat
ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi
masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif
serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik,
walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul
penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan
“Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan
keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi”
(berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959,
maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan
nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).[6]
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi
partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus
berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme
Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai
besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran
politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun
dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
Gerakan separatis pada tahun 1957
Ø
Konflik ideologi yang tajam yaitu antara
Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan
Konstituante pada tahun 1959.
Ø
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu
telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka
terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke
UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan
yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra
dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden
tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden
5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang
berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari
pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran
politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya
tinggi.[7]
B. KONFIGURASI POLITIK ERA ORDE BARU
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia
(G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1
Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang
memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu
untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang
kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu
diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli
1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan
Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di
Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah
terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian
besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.[8] Pada masa Orde Baru pula
pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk
mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut
dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
• Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini
disebut juga dengan konsensus utama.
• Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan
konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus
utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara
pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus
nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa. Konsensus
ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus
nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.[9]
Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan
keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat
konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan
politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada
PNI yang nota bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim
terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai
dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin
menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah Orde Lama,
pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama tidak
boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus mengganti nama
sehingga terkesan sebagai partai baru.[10] Pada Pemilu 1971 partai-partai
politik disaring melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang
dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini
didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar
merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan,
yang kemudian pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan
Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan kepada
kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka dalam front nasional.
Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam
kelompok-kelompok induk organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai
“Political Battle Unit “ rezim orde baru.
Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi
penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi
sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra
karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk
partai-partai hanya kedalam golongan nasional, spiritual dan karya.[11]
Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima
oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3/1975
tentang Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima
kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan
1997).
C. PARTAI POLITIK
Melihat sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai
peran dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite
yang berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan
kebebasan. Pada umumnya para ilmuwan politik menggambarkan adanya empat fungsi
partai politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi:
o Sarana komunikasi politik;
o Sosialisasi politik;
o Sarana rekruitmen politik;
o Pengatur konflik. [12]
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait dimana partai politik berperan dalam
upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana berbagai
ide-ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi kebijakan
kenegaraan. Terkait sebagai sarana komunikasi politik, partai politik juga berperan
mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai
politik serta sebagai sarana rekruitmen kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan
peran sebagai pengatur konflik, partai politik berperan menyalurkan berbagai
kepentingan yang berbeda-beda. Disamping itu, partai politik juga memiliki
fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu partai politik
akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara konstitusional, sehingga setelah
mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai politik ini akan mempunyai
dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan
dalam suatu pemerintahan.[13] Dengan demikian, fungsi partai politik secara
garis besar adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam
mewujudkan hak memilih dan hak dipilihnya dalam kehidupan bernegara.
Selanjutnya, sejarah kepartaian di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
Dari sejarah tersebut dapai dilihat bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia
bertujuan untuk: (a) untuk menghapuskan penindasan dan pemerasan di Indonesia
khususnya dan didunia pada umumnya (kolonialisme dan imperialisme); (b) untuk
mencerdaskan bangsa Indonesia; (c) untuk meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara,
yaitu;
Kemerdekaan di bidang politik, ekonomi
dan budaya nusa dan bangsa;
§
Pemerintahan Negara yang demokratis;
§
Menentukan Undang-Undang Dasar Negara
yang memuat ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang sesuai dengan nilai-nilai
sosialistis paternalistic yang agamais dan manusiawi.
§
Dari perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut, secara umum
terdapat dua ciri utama yang mewarnai pendirian dan pergeseran masing-masing
organisasi politik dan golongan fungsional yang ada, yaitu:
Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak
kehidupan politik, organisasi politik dan golongan fungsional, yaitu didasarkan
pada persatuan dan kesatuan yang bersumber pada kepentingan nasional dan
bermuara pada kepentingan internasional. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut
ditempuh melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia.
v
Sedangkan landasan (faham, aliran atau
ideologi) yang digunakan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta
kedaulatan rakyat tersebut berbeda satu sama lain.
v
Kemudian, keberadaan partai politik-partai politik ini sesungguhnya untuk
meramaikan pesta demokrasi sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses
pemilihan umum. Dalam proses pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga)
tujuan pemilihan umum di Indonesia, antara lain: pertama, memungkinkan
terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib; kedua, kemungkinan
lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD 1945; dan ketiga, untuk
melaksanakan hak-hak asasi warga negara. [14]
Dengan demikian, antara partai politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi
dalam mata uang yang sama. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain
dikarenakan keduanya saling bergantungan dan mengisi.
1. Partai Politik dalam Era Orde Lama
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang
ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat
Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal
bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta
perorangan.[15]
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian
Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres
No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran
partai-partai.[16] Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10
partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai
berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan
PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan
Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut,
hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam
kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka
diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang
menghasilkan "Deklarasi Bogor." [17]
2. Partai Politik dalam Era Orde Baru
Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12
Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai politik.
Pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan
ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya maka
didirikannyalah Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung dari
Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM.[18]
Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan
terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai
Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk
kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti.
Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok
tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan
terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan parpol
sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya dalam
Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya.[19]
Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu hanya terdiri
sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat
Golkar dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu.